Padahal tugas pra-UTS menumpuk. Jurnal Kimia Lingkungan harus diterjemahkan dan wajib hand writing. Jari-jariku rasanya remuk. Jenuh banget. Ini tugas lama banget beresnya. Seperti biasa. Blog itu salah satu tempat pelarian favorit saat deadline tugas mengejarku.
“Entahlah apa yang terjadi!” Mungkin itu adalah kalimat khas yang selalu dilontarkan sang Raja Persia, setiap ingin memulai cerita tentang keresahan terhadap kondisi kerajaan tempatnya lahir. Entahlah itu hanya sekedar retorika, atau sebuah efek dari rasa pesimis yang kadang menderanya. Eh, kalau engkau membaca tulisanku ini, jangan GR dulu. Jangan senyum-senyum sendiri di depan layar. Tulisan ini tak akan membahas dirimu. Paling hanya ingin meminjam kalimat khasmu tersebut. Mumpung masih gratis, belum daftar hak paten kan? Hyahaha 😀
Entahlah apa yang terjadi! Dewasa ini aku ingin menulis, meracau, dan berpikir tentang kaumku: Perempuan. Entah aku baru menyadari kodratku sebagai perempuan, atau karena fenomena akhir jaman yang menjadikan kaumku sebagai korbannya. Entahlah. Rasanya banyak kata yang berada dalam setiap syaraf otakku yang berloncat-loncatan. Hobiku akhir-akhir ini mengamati mimik wajah hingga karakter setiap perempuan yang ada di hadapanku. Aku pun selalu terpana akan keindahan khas yang terpancar dari setiap mereka. Perempuan dilahirkan dengan keindahan yang berbeda. Rasanya tak adil, jika membandingkan keindahan yang memiliki ciri khas tersendiri antara satu dengan yang lain.
Curahan hati ini murni dari lubuk hatiku yang terdalam, setelah mengamati dan mempelajari dari beberapa orang yang kukenal. Mungkin juga, wujud kekagumanku kepada kodrat perempuan. Terlepas dari kenyataan bahwa aku pun seorang perempuan. Terserah mau menyebut ini tulisan yang narsis atau apalah namanya. Yang jelas, aku terjebak dalam Pesona yang Abadi Selamanya: M-U-S-L-I-M-A-H.
Maha Suci Tuhanku yang telah menciptakan keindahan kepada kaum perempuan. Ibarat mutiara yang memiliki banyak sudut. Setiap sudutnya memancarkan pesona yang berbeda. Keanggunan akhlak yang membuat hati tertawan, sehingga kegelapan beruba kegemilangan jiwa. Muslimah Shalehah semakin lama kian bertambah keindahan dari perhiasan akhlaknya. Sementara perempuan jelita yang kurang berbudi, kian hari pesonanya pun akan luntur. Wajah polos lagi suci yang bersih dari polesan modern, tanpa kepalsuan. Air muka yang jernih dan sejuk seumpama telaga. Ketulusan selalu terselip di setiap ulas senyumannya.
Benar adanya. Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam memberi penekanan khusus pada dien-nya (agama-nya) agar selamat dunia dan akhirat. Perkara bahwa kemudian potongannya good looking, kemapanan ekonomi, serta titisan darah biru, hanyalah dekorasi dari syarat utama: AGAMA.
Cekcok anak manusia yang berujung pada pembunuhan, bermula dari soal perempuan. Salah seorang dari putra Adam terjebak pesona lahiriah gadis jelita. Dan ia harus membayar perangkap maut tersebut dengan pertumpahan darah. Begitu yang sering kudengar dari guru agamaku ketika SMP. Na’udzubillaah! Perempuan jelan bukan biang masalah. Justru kekeliruan mencermati pesonanya menjadi awal dari petaka. Tolong catat dan telaah kalimat tersebut! Hitler tidak harus sampai membunuh massal jutaan Yahudi kalau terhindar dari trauma soal perempuan. Yang pernah kubaca, semasa kecilnya, sang dictator Jerman sakit hati dengan caci maki perempuan kaya teradap ibunya yang tukang cuci. Celakanya, perempuan tersebut berdarah Yahudi dan dendam pun berbuah darah. Andai yaa, kala itu pesona kelurusan hati yang ditebar sang perempuan Yahudi tersebut, barangkali sejarah akan berbeda. Mungkin.
Lagi-lagi, jika ditanya perempuan di dunia mana yang memiliki hati yang lurus dan akhlak yang mulia? Maka aku akan tetap menjawab sama: K-H-A-D-I-J-A-H binti Khuwailid. Sungguh mulia Khadijah, perempuan yang paham pesona apa yang dibutuhkan oleh seorang pejuang kebenaran sekaliber Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Khadijah penuh pengorbanan, begitu tulus tanpa pamrih. Ketika menderita ikut serta sepenuh jiwa. Giliran bahagia, tidak turut merasakan kemenangan. Karena telah wafat.
Khadijah adalah kekasih sejati yang mencintai Muhammad bukan atas nama harta dan tahta. Kesetiannya teruji oleh penderitaan dan kesengsaraan di awal Islam bermula. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Hyahaha. Jadi nyanyi 😀 Beliau bukanlah sarjana lulusan perguruan tinggi ternama. Hanya Universitas Perjuangan Amal Dedikasi (UNPAD) yang telah memberinya gelar Summa Cum Laude. Orang memang tidak harus bersekolah tinggi untuk berjiwa besar. Usianya yang lebih tua lima belas tahun dari sang suami, berhasil membuahkan kematangan jiwa. Saat diterjang situasi sulit, sayap kasihnya menyelimutkan kehangatan bagi jiwa Muhammad yang gigil. Ketulusan yang menyingkirkan resah dan gelisah yang menerkam suami tercinta.
Tidak sekeping pun dari selembar kehidupannya kecuali demi meraih cita-cita tertinggi. Perempuan yang mempersembahkan semua keindahan yang dimilikinya demi cintanya kepada Yang Maha Tinggi. Hingga dirinya tak memiliki apa-apa lagi. jiwa, raga, harta, tahta, bahkan hati telah ia gadaikan di jalan Tuhan. Namun ketulusannya itulah yang menebar pesona, hingga abadi selamanya.
Aku selalu berdecak kagum setiap kali membaca kisah perjalanan Khadijah menemani perjuangan sang suami. Sosok Khadijah menjelma dalam wujud yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan gigih. Mama. Mama tak pernah menceritakan secara detail dengan lisan tentang Khadijah binti Khuwailid. Tapi, sikapnya lah yang menjelaskan seperti apa menjadi seorang perempuan di setiap fasenya. Setelah membaca kisah demi kisah Khadijah, aku baru sadar. Bahwa sikap-sikap mama adalah pelajaran bagiku. Sebuah tayangan nyata dari buku yang pernah kubaca tentang sosok Khadijah. Mama yang bertemu dengan ayah karena keyakinannya yang muncul tanpa alasan. Keyakinan yang muncul di saat kondisi keuangan ayah yang tidak meyakinkan. Yakin dengan seorang lelaki yang putus kuliah. Yang hanya kerja serabutan. Siang jadi tukang parkir, malam kurir layar tancap. Hari ini makan, besok puasa. Keyakinan yang muncul kepada orang yang saat itu terlihat suram dibandingkan dengan beberapa pria yang “terlihat” lebih menjanjikan. Tak ubahnya seperti Khadijah yang memilih Muhammad karena keyakinan. Khadijah yang yakin melihat masa depan Muhammad dari Akhlaknya, bukan dari hartanya.
Ketika pilihan tersebut telah berhenti pada lelaki yang ia yakini, Khadijah selalu mendoakan suaminya. Begitu pun yang kulihat pada sosok mama. Bukannya meninggalkan ayah yang sedang berjuang untuk mengayuh bahteranya agar tidak tenggelam. Menemani sang suami saat melintasi masa-masa tersulit dalam hidup. Huaaah… semakin aku melanjutkan tulisan ini, semakin rinduku tak tertahankan. Hanya doa yang bisa sedikit mengobati kerinduanku ini. Jarak kita terlalu jauh. Mama nan jauh di Aceh, dan Khadijah yang hanya bisa kutemui di setiap pasukan kata dalam buku ini. Jarak harus bertanggung jawab atas kerinduanku ini. Jika dalam pengadilan, jarak adalah terdakwa atas kasus konspirasi rindu yang menggebu. Baiklah. Akan kuakhiri tulisan ini, sebelum rindu semakin menggerogoti malamku.
dan aku berkeinginan mencapai tiada yang lain, hanya Yang Maha Tinggi. ~ @hibatunaeem
sebuah keputusan bukan berdasarkan keputus-asaan (-@nishanii22), melainkan karena keyakinan yang terkadang tanpa alasan (-kokoliqo)
——-
oya, malam selasa kemarin ada bintang jatuh dari arah barat ke arah selatan. ba’da maghrib pas lagi ngobrol bareng adik adik nashirat. bintang jatuh mengingatkanku akan mimpi 1tahun yang lalu. persis.
——-
Zeest . Selasa, 7052013. 8.57 pm. Konstalasi Orion.